Pages

Senin, 04 Maret 2013

Belajar Sepakat dari Sepak Bola Jalanan

Belajar Sepakat dari Sepak Bola Jalanan
Weshley Hutagalung



Anak-anak tak perlu sepatu mahal untuk belajar kehidupan dari sepak bola. 

Lapangan itu tak bisa disebut rata dengan rumput yang menutupi tanah keras sebagai alas ketika anak-anak itu terjatuh. Namun, bocah-bocah itu tak memikirkan luka atau goresan yang mungkin menjadi tanda di tubuhnya.
Bola ditendang, melayang, terkadang tak sesuai dengan arah yang dimaksud. Maklum, si bundar yang diperebutkan dua kelompok bocah itu terbuat dari bahan plastik yang dibeli di warung di dekat lapangan. Tapi tak masalah, permainan jalan terus.
Gelak tawa di lapangan itu terkadang diikuti pertengkaran kecil mencari kebenaran yang menghentikan permainan untuk sementara. Demi menjaga kenikmatan bermain sepak bola, tak lama kemudian kesepakatan tercapai antara kedua kubu, dan bola plastik kembali ditendang dengan sebuah tujuan: gawang lawan!
Sungguh menyenangkan melihat bagaimana bocah-bocah itu bermain sepak bola dan berusaha menjadi seperti pemain idolanya. Mereka tidak harus bermain di lapangan rumput yang lembut dan terawat rapi dengan garis pembatas di pinggir lapangan. Bahkan bermain di gang sempit atau sebidang tanah kosong bangunan yang tergusur, seperti yang dikisahkan Iwan Fals dalam lagunya "Mereka Ada di Jalan".
Anak-anak itu juga tak perlu mengenakan jersey mahal dan lengkap dengan sepatu bernilai ratusan ribu rupiah, serta si kulit bundar dari merk terkenal.
Sebuah bola plastik, yang kerap menyudahi permainan karena kempes akibat benturan keras dua kaki atau bocor kena benda tajam, cukup menjadi perekat dua kubu yang berlari tanpa alas kaki.
Sungguh kuat kaki-kaki mereka, sekuat hasrat untuk dapat menikmati waktu yang ada dengan cara bermain dan bersaing mencari kemenangan bersama tim.
Tanpa disadari, permainan tersebut ikut membentuk karakter mereka sejak kecil. Bocah-bocah itu mengerti bagaimana mereka harus mencapai kesepakatan guna menikmati permainan. Termasuk memainkan si bundar tanpa bantuan seorang pengadil dengan tiupan-tiupan peluitnya.
Menjadi wasit sekaligus pelaku dalam permainan, bisa­kah mereka yang mengaku pengurus sepak bola di negeri ini melakukannya dalam panggung berbeda?
Untuk membedakan mana teman mana lawan, keputusan bisa diambil dengan berbagai cara, tujuannya agar satu tim bermain dengan bertelanjang dada.
Lalu, ke mana bola yang diperebut­kan itu diarahkan? Tentu gawang yang ada di belakang permainan kedua tim. Di lapangan yang tak diperuntuk­kan untuk bermain sepak bola itu, tidak akan ada gawang yang membuat pemain sepak bola bisa fokus melakukan tujuan dari pekerjaannya.
Kumpulan baju-baju yang tak terpakai di kubu yang ber­telanjang dada disepakati sebagai gawang. Pilihan lain, sandal-sandal yang ditumpuk dalam jarak yang disetujui ber­sama. Walau tak bisa disebut pasti, ukuran sebuah gawang tak boleh lebih kecil dari gawang lain.
Dari anak-anak di jalanan, kita bisa belajar bagaimana ber­usaha dan menemukan sebuah kesepakatan agar dua kubu bisa sama-sama terjun ke dalam permainan dan aturan yang sama. Termasuk menentukan lebar gawang, tujuan dari permainan mengolah di bundar.
***
Gawang merupakan salah satu bagian penting dari permain­an sepak bola. Sejarah olah raga ini memperlihatkan pada kita bagaimana ampuhnya sebuah persetujuan bersama dalam menentukan karakter gawang.
Pada 1848 di Inggris, disepa­kati bahwa si bundar dalam sepak bola ditujukan agar melewati dua tiang yang berdiri tegak dengan tali yang terikat di atas keduanya. Aturan ini kemu­dian dikenal sebagai Cambridge Rules, yang tentu saja mencakup sejumlah arahan lain agar olah raga ini berjalan dengan baik dimainkan kedua kubu.
Pada 1963, federasi sepak bola di Inggris menetapkan atur­an baru bahwa gawang harus dibuat dengan lebar 24 feet, sekitar 7,32 meter. Kesepakatan ini dipakai hingga sekarang.
Dalam perkembangannya, perdebatan menyangkut permain­an ini sampai pada berapa sesungguh tinggi gawang yang cocok untuk semua pelakunya. Kesempatan tercipta pada 1872, tinggi gawang harus 8 kaki dari tanah, sekitar 2,44 meter.
Aturan dan kesepakatan terus berkembang, termasuk memutuskan bentuk mistar yang kini menjadi bulat, tidak lagi kotak persegi empat yang dinilai bisa memunculkan ketidakadilan akibat pantulan bola.
Terkadang, keputusan yang diambil tak harus bersifat logis atau masuk di akal. Tetapi alangkah lebih baik keputusan itu melalui sebuah tahap yang dinamakan kesepakatan bersama. Kalau anak-anak bisa mencapai kesepakatan agar sama-sama bisa menikmati permainan yang bernama sepak bola, kenapa kita tidak?
Tak sekali kita mendapat kesempatan untuk memperbaiki kesalahan pengelolaan sepak bola di negeri ini, Namun, kesepakatan yang dibutuhkan selalu terhadang oleh ambisi dan agenda sekelompok orang.
Kata Iwan Fals begini, "Tiang gawang puing-puing, sisa bangunan yang tergusur. Tanah lapang hanya tinggal cerita, yang tampak mata hanya para pembual saja!" #